Tiba-tiba tak ada angin, tak ada hujan, tak ada petir menggelegar - dan tak ada cowok cakep lewat - , muncul hasrat untuk menulis tentang bias. Bukan. lstilah bias yang kumaksud bukan istilah bias yang lagi ngetren di kalangan remaja yang biasanya berarti anggota favorit dari boyband, girlband, maupun band Jepang & Korea. Walaupun sebenarnya masih ada benang merahnya juga sich. He he he.
Berdasarkan kamus, bias berarti "simpangan", kecenderungan untuk percaya bahwa suatu ide, orang, dll lebih baik dari yang lain dan biasanya menyebabkan orang menilai/memutuskan sesuatu secara tidak adil. Makanya anggota favorit dari band Jepang atau Korea disebut bias, karena kita lebih menyukainya dibandingkan anggota yang lain sehingga perlakuan kita terhadap member lain jadi kurang adil. Lebih memilih merchandise dari anggota favorit kita misalnya. He he he. Back to the topic, bias yang kumaksud disini adalah bias secara umum, terutama tentang cognitive biases. Kenapa ini penting? Dari pengalaman, aku mendapati bahwa memang terkadang bias membuat kita jadi tidak dapat mengambil keputusan yang benar. Bahkan para ahli pun bisa bias.
Berdasarkan kamus, bias berarti "simpangan", kecenderungan untuk percaya bahwa suatu ide, orang, dll lebih baik dari yang lain dan biasanya menyebabkan orang menilai/memutuskan sesuatu secara tidak adil. Makanya anggota favorit dari band Jepang atau Korea disebut bias, karena kita lebih menyukainya dibandingkan anggota yang lain sehingga perlakuan kita terhadap member lain jadi kurang adil. Lebih memilih merchandise dari anggota favorit kita misalnya. He he he. Back to the topic, bias yang kumaksud disini adalah bias secara umum, terutama tentang cognitive biases. Kenapa ini penting? Dari pengalaman, aku mendapati bahwa memang terkadang bias membuat kita jadi tidak dapat mengambil keputusan yang benar. Bahkan para ahli pun bisa bias.
Sebenarnya aku sudah ingin menulis tentang hal ini sejak tahun lalu. Sejak aku membaca buku "Thinking, Fast & Slow" karangan Daniel Kahneman, profesor psikologi Princeton University yang juga peraih nobel di bidang ekonomi tahun 2002. Tapi berhubung kesibukan yang menyita waktu akhirnya hal ini tidak jadi kulakukan. Keinginan ini kembali muncul setelah membaca buku "The (Honest) Truth about Dishonesty" karangan Dan Ariely, profesor psikologi Duke University. Mempelajari soal bias itu ternyata sangat menarik.
Manusia sangat rentan memiliki bias terhadap suatu hal. Salah satu jenis bias yang paling berbahaya adalah secara alami kita selalu berpikir bahwa orang lain lebih rentan membuat kesalahan dibandingkan kita. Kecenderungan ini dikenal sebagai "bias blind spot". Seperti kata pepatah, "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak". Kita mahir dalam menemukan kesalahan orang lain tapi tidak mampu melihat kesalahan yang sama pada diri kita. Contohnya? Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja ibu-ibu yang suka bergosip dengan topik sekitar kesalahan dan kejelekan orang lain. Ho ho ho. Singkatnya, kita gampang mengabaikan kesalahan kita tetapi bersikap lebih kritis terhadap kesalahan orang lain. Akibatnya kita menilai pendapat kita terlalu tinggi dan menganggap pendapat orang lain yang bertentangan dengan kita lebih inferior.
Menariknya, suatu penelitian tahun 2012 menemukan bahwa orang dengan kemampuan kognitif yang tinggi (alias orang pintar) cenderung memiliki "bias blind spot" yang lebih tinggi dari orang biasa. Semakin pintar, semakin besar "bias blind spot"nya. Hal yang mungkin pertama-tama terdengar lucu, karena bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang semakin banyak belajar (dalam hal ini aku asumsikan berarti orang pintar) justru semakin mengetahui bahwa dia tidak tahu apa-apa? Tetapi jika dipikir lagi, tampaknya memang mungkin hal ini ada hubungannya.
Mungkin aku bisa menceritakan pengalamanku sendiri soal "bias blind spot". Tahun lalu aku mengikuti suatu pelatihan dimana peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk memecahkan kasus yang berbeda-beda. Aku sempat berdebat sengit dengan salah seorang peserta (Ph.D candidate dengan latar belakang Kimia) tentang cara menghitung dosis maksimal yang aman digunakan dari suatu senyawa toksik. Aku sendiri memiliki latar belakang Farmasi, dan kuakui bahwa meskipun aku tidak pernah menyombongkannya, dalam hati aku selalu merasa sebagai orang yang pintar dan kompeten. Farmakokinetik dan penentuan dosis merupakan salah satu kompetensi apoteker. Dengan cepat aku dapat menemukan kesalahan sistematis dalam cara perhitungan peserta tersebut. Sejujurnya perdebatan tersebut juga dibumbui dengan perasaan superior ("tahu apa sich dia soal perhitungan dosis dan farmakokinetik?", kira-kira begitulah suara kesombongan dari salah satu sudut hatiku). Perlu diketahui bahwa dalam pelatihan tersebut tidak ada kunci jawabannya. Yang penting adalah bagaimana kita bisa mempertahankan pendapat kita dan aku menang. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sebenarnya pemikiran peserta lain tersebut juga ada benarnya. Malah mungkin ada kekeliruan dalam perhitunganku karena tidak mempertimbangkan faktor yang disebut peserta tersebut. Akhirnya aku menyadari bahwa waktu itu aku terlalu kritis terhadap kesalahan orang lain dan gagal melihat kesalahan dalam pemikiranku sendiri. Hal ini membuatku berpikir bahwa orang yang merasa dirinya pandai ternyata tak sepandai yang dipikirkannya. Siapapun rentan membuat kesalahan pada bidang yang mungkin dianggap sudah dikuasai.
Yang bisa aku simpulkan dari pengalamanku sehari-hari adalah orang-orang dengan kemampuan kognitif tinggi cenderung menganggap dirinya pintar dan oleh karena itu tanpa disadari menjadi kurang awas dengan kesalahan sendiri. Beberapa kali terjadi, peneliti mengabaikan suatu efek atau fenomena yang dianggap sebagai "noise", "coincidence" atau "irrelevant". Hanya untuk menemukan beberapa tahun kemudian bahwa hal tersebut ternyata merupakan sesuatu yang penting. Sejauh ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kita aware dengan adanya "bias blind spot", hal ini sulit untuk dihilangkan. Analisis tambahan juga menyebutkan bahwa meskipun kita bebas dari "bias blind spot", ternyata tidak membantu dalam menghindari cognitive bias lainnya. Akar dari bias sebagian besar berasal dari pemikiran alam bawah sadar. Oleh karena itu tidak dapat dilihat melalui self-analysis dan tidak dapat dicegah dengan intelegensi.
Waduh. Sepertinya cuap-cuapku kali ini menjadi sangat panjang. Inti dari yang ingin kukatakan adalah penting adanya kesadaran dan kemauan untuk menerima bahwa mungkin ada kesalahan dalam sistematika berpikir kita. Bagi yang merasa pintar, berpikiran terbuka dan tidak cuma memasang kacamata kuda mungkin membantu dalam mengurangi bias ini. ^^. So, what's your opinion about this?
![]() |
Salah satu jenis bias yaitu hindsight bias. credit to: Nicholson of "The Australian" newspaper http://www.nicholsoncartoons.com.au/ |
Manusia sangat rentan memiliki bias terhadap suatu hal. Salah satu jenis bias yang paling berbahaya adalah secara alami kita selalu berpikir bahwa orang lain lebih rentan membuat kesalahan dibandingkan kita. Kecenderungan ini dikenal sebagai "bias blind spot". Seperti kata pepatah, "gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak". Kita mahir dalam menemukan kesalahan orang lain tapi tidak mampu melihat kesalahan yang sama pada diri kita. Contohnya? Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja ibu-ibu yang suka bergosip dengan topik sekitar kesalahan dan kejelekan orang lain. Ho ho ho. Singkatnya, kita gampang mengabaikan kesalahan kita tetapi bersikap lebih kritis terhadap kesalahan orang lain. Akibatnya kita menilai pendapat kita terlalu tinggi dan menganggap pendapat orang lain yang bertentangan dengan kita lebih inferior.
Menariknya, suatu penelitian tahun 2012 menemukan bahwa orang dengan kemampuan kognitif yang tinggi (alias orang pintar) cenderung memiliki "bias blind spot" yang lebih tinggi dari orang biasa. Semakin pintar, semakin besar "bias blind spot"nya. Hal yang mungkin pertama-tama terdengar lucu, karena bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang semakin banyak belajar (dalam hal ini aku asumsikan berarti orang pintar) justru semakin mengetahui bahwa dia tidak tahu apa-apa? Tetapi jika dipikir lagi, tampaknya memang mungkin hal ini ada hubungannya.
Mungkin aku bisa menceritakan pengalamanku sendiri soal "bias blind spot". Tahun lalu aku mengikuti suatu pelatihan dimana peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk memecahkan kasus yang berbeda-beda. Aku sempat berdebat sengit dengan salah seorang peserta (Ph.D candidate dengan latar belakang Kimia) tentang cara menghitung dosis maksimal yang aman digunakan dari suatu senyawa toksik. Aku sendiri memiliki latar belakang Farmasi, dan kuakui bahwa meskipun aku tidak pernah menyombongkannya, dalam hati aku selalu merasa sebagai orang yang pintar dan kompeten. Farmakokinetik dan penentuan dosis merupakan salah satu kompetensi apoteker. Dengan cepat aku dapat menemukan kesalahan sistematis dalam cara perhitungan peserta tersebut. Sejujurnya perdebatan tersebut juga dibumbui dengan perasaan superior ("tahu apa sich dia soal perhitungan dosis dan farmakokinetik?", kira-kira begitulah suara kesombongan dari salah satu sudut hatiku). Perlu diketahui bahwa dalam pelatihan tersebut tidak ada kunci jawabannya. Yang penting adalah bagaimana kita bisa mempertahankan pendapat kita dan aku menang. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sebenarnya pemikiran peserta lain tersebut juga ada benarnya. Malah mungkin ada kekeliruan dalam perhitunganku karena tidak mempertimbangkan faktor yang disebut peserta tersebut. Akhirnya aku menyadari bahwa waktu itu aku terlalu kritis terhadap kesalahan orang lain dan gagal melihat kesalahan dalam pemikiranku sendiri. Hal ini membuatku berpikir bahwa orang yang merasa dirinya pandai ternyata tak sepandai yang dipikirkannya. Siapapun rentan membuat kesalahan pada bidang yang mungkin dianggap sudah dikuasai.
Yang bisa aku simpulkan dari pengalamanku sehari-hari adalah orang-orang dengan kemampuan kognitif tinggi cenderung menganggap dirinya pintar dan oleh karena itu tanpa disadari menjadi kurang awas dengan kesalahan sendiri. Beberapa kali terjadi, peneliti mengabaikan suatu efek atau fenomena yang dianggap sebagai "noise", "coincidence" atau "irrelevant". Hanya untuk menemukan beberapa tahun kemudian bahwa hal tersebut ternyata merupakan sesuatu yang penting. Sejauh ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kita aware dengan adanya "bias blind spot", hal ini sulit untuk dihilangkan. Analisis tambahan juga menyebutkan bahwa meskipun kita bebas dari "bias blind spot", ternyata tidak membantu dalam menghindari cognitive bias lainnya. Akar dari bias sebagian besar berasal dari pemikiran alam bawah sadar. Oleh karena itu tidak dapat dilihat melalui self-analysis dan tidak dapat dicegah dengan intelegensi.
Waduh. Sepertinya cuap-cuapku kali ini menjadi sangat panjang. Inti dari yang ingin kukatakan adalah penting adanya kesadaran dan kemauan untuk menerima bahwa mungkin ada kesalahan dalam sistematika berpikir kita. Bagi yang merasa pintar, berpikiran terbuka dan tidak cuma memasang kacamata kuda mungkin membantu dalam mengurangi bias ini. ^^. So, what's your opinion about this?
nice article...thx for remindme...my english is poor too :p
ReplyDeleteThank you
Deleteagree
Delete